In

Yang tersisa


Guru saya di Jepang menulis pesan kelulusan saya dengan “Mutiara, menurutmu, apa yang tersisa dari kehidupanmu di Jepang? Di kehidupanmu selanjutnya, semangat terus ya.”

Maaf kalau terjemahannya terjun bebas gitu ya. Hihi. Intinya sih, apa yang saya dapat dari kehidupan saya di Jepang. Saya cukup terkesan dengan pesan singkat itu. Mungkin pesan itu ditulis oleh beliau karena memang saya tidak semuda teman-teman saya di sekolah, sehingga beliau menyadari, tujuan saya ke Jepang bukan untuk materi seperti umumnya teman-teman lain. Tapi lebih dari itu, ada tujuan lain yang ingin saya raih (plus mungkin karena saya tidak semuda teman-teman lain, pertanyaannyapun jadi lebih filosofis ya...hihi).

Setelah saya pikirkan baik-baik, hikmah apa yang saya dapat dari kehidupan singkat saya selama setahun di Jepang itu, hasilnya adalah berikut ini: 

Memahami pentingnya hubungan antar manusia

Sistem sosial masyarakat Jepang yang tidak mau mengganggu privacy orang lain membuat mereka cenderung lebih tertutup. Sehingga hubungan antar manusiapun lebih terkesan artifisial. Selama di Jepang, saya sering merasa stres. Kesepian. Bukan karena ga punya temen banget. Tapi karena sisi ekstrovert saya kurang suplay energi. Hehehe.

Teman banyak, tapi semua sibuk. Waktu untuk bercengkrama kurang. Giliran saya senggang, mereka sibuk. Saya sibuk, mereka senggang. Pulang baito, supermarket udah mau tutup. Teman baito pun tidak pernah mengajak saya bergaul ala mereka yang makan-makan sambil minum di bar karena tahu saya tidak minum alkohol dan makan babi (eh pernah sekali sih waktu awal baito sebetulnya, tapi karena besoknya ada ujian saya tolak) dan malah kaget ketika saya bercerita habis pergi yakiniku-an, ga kebayang katanya, kalau saya yakiniku-an.  Saya rajin chat dengan keluarga dan teman. Tapi tetap, interaksi langsung dengan manusia ternyata penting. Hihihi.

Setiap budaya memang memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Sementara orang Indonesia terlalu ramah dan kepo sampai-sampai bikin jengah, orang Jepang malah ramah, tapi terasa artifisial, karena selalu terasa ada jarak. Ibarat gula, manisnya hanya di lidah saja. Sementara orang Indonesia, sekali suap, gula darah langsung melonjak tinggi dan kena diabetes.




Pekerjaan

Bagi orang Jepang, pekerjaan adalah tuhan mereka. Karena hanya dengan bekerja, mereka dapat hidup. Mereka tidak mengenal konsep rejeki seperti umumnya orang Indonesia. Karena itu tidak aneh kalau mereka sangat pekerja keras. Mengenai pekerjaan ini hal yang saya dapatkan adalah tidak ada gengsi dalam pekerjaan. Kerja itu apa aja. Kalau bisa bekerja, kerjakan. Yang penting halal (buat saya sih). Hehehe. Contohnya...kalau di Indonesia, pekerjaan cuci piring di resto itu kesannya remeh banget kan ya. Jadi pelayan juga kayaknya hina amat. Cuma dikerjakan oleh mereka yang kurang skill alias kurang berpendidikan alias...karena mereka ga bisa kerja lain, mereka jadi pelayan. Saya secara pribadi tidak pernah menganggap pekerjaan seperti itu hina. Hanya saya sering mendengar “Masa sarjana kerja gitu?” atau “Ih, dia tuh mahasiswa loh” (pas liat pelayan atau OB yang memberi kesan bahwa OB atau pelayan itu ga bisa jadi mahasiswa). Sementara yang saya lihat di Jepang tentunya berbeda karena konsep hidupnya juga berbeda. Pekerjaan “remeh” seperti itu dilakukan bukan semata-mata karena mereka kurang skil. Tapi misalnya pelajar yang masih harus berbagi waktu dengan sekolah. Atau ibu rumah tangga yang mengisi waktu luang dan menambah penghasilan setelah mengurus keluarga. Kalau pelajar sih memang keluar dari tempat kerja masih jalan kaki atau boseh sepeda ya. Tapi macam ibu rumah tangga itu, kalau ketemu di mall sih gayanya bukan main. Karena mulai SMA umumnya manusia Jepang sudah terbiasa sekolah sambil bekerja.

Rasanya indah kalau pola kehidupan seperti itu dapat diterapkan di Indonesia. Tidak ada pekerjaan yang hina. Pelajar atau ibu rumah tangga tetap bisa bekerja sebagai pekerja paruh waktu. Sementara sejauh ini yang saya lihat sih di Indonesia masih belum banyak perusahaan yang mau menerima pekerja paruh waktu seperti itu. Di Indonesia yang saya lihat adanya pekerjaan dengan kontrak dan gaji temporer tapi dengan tanggung jawab dan waktu yang dituntut full. Padahal saya sih pengen banget bisa ada sistem kerja part time seperti di Jepang. Karena dengan seperti itu memungkinkan para ibu rumah tangga untuk bisa bekerja tanpa mengenyampingkan keluarganya. Ngarep banget ya bisa kayak gitu. Hehehe. Soalnya cita-cita saya banget bisa tetep kerja tapi pekerjaan tidak mengganggu urusan keluarga.

Saya bercita-cita untuk bisa tetap bekerja di luar rumah sambil mengurus keluarga (dengan porsi tidak lebih besar dari keluarga tentunya) karena saya sadar saya tipe yang dinamis. Kalau saya terkurung terus, saya bakal stres. Saya butuh interaksi dengan berbagai orang. Karena itu saya sangat suka mengajar. Karena dalam mengajar ada dinamika, ada perubahan ruang, dan saya dipaksa untuk terus belajar

Hidup sederhana dan perubahan cara pandang dalam menilai materi

Ada hal yang menurut saya menggelikan. Sementara bagi orang Indonesia imej orang yang tinggal di luar negri itu mewah, pada kenyataannya, justru kehidupan orang Indonesia yang tinggal di luar negri itu umumnya sederhana dan penuh kerja keras. Sebelumnya di Indonesia saya lahir dan dibesarkan dengan cara sederhana juga. Sampai di suatu titik, saya ga lagi sederhana. Saya terlenakan oleh materi. Saya bisa membeli apa yang saya mau tanpa berpikir panjang. Saya bisa mengoleksi barang ga penting macam parfum ori (yes...I was a fragrant junkie), branded stuff, kosmetik, sampai mainan hadiah resto fastfood dsb.

Hidup di Jepang, karena memang saya juga ga butuh tampil wah, saya secara alami kembali hidup sederhana. Siklus hidup yang sekolah-kerja membuat saya tidak perlu tampil terlalu modis dengan polesan make up. Errr...ya sebetulnya orang lain gak gitu-gitu amat sih. Cuma kalau saya sih, ngapain juga ke sekolah terus ke laundry dengan pakaian modis plus make up. Make up masih saya gunakan ketika saya mengajar aja. Kenapa? Karena kalau sebagai guru, saya merasa perlu menampilkan kerapihan dan profesionalitas (ecieeee...hihi). Selain itu, iphone yang lambang gengsi di Indonesia di Jepang sih rasanya biasa-biasa saja. Tas coach dan LV aja digantung di stang sepeda (eh, no kw yah di Jepang..hihi). Sehingga di mata sayapun kemewahan barang-barang tersebut menghilang.

Seperti yang umumnya diketahui, kehidupan orang Jepang berpusat pada materialisme. Tidak ada tuhan bagi mereka. Yang saya sadari, materi tidak mendatangkan kebahagiaan. Klise ya. Saya melihat orang-orang Jepang yang bekerja habis-habisan, tapi nampak tidak bahagia. Bekerja terus dan pulang hanya untuk istirahat. Menimbun harta. Lalu untuk apa?



Ini banget!




Hidup di Jepang konon identik dengan mahal dan Indonesia murah? Yakin? Pada kenyataannya, secangkir kopi starbucks di Indonesia harganya sama dengan di Jepang. Saat tahun 2015, iphone 6s berharga sekitar 60.000 yen, sedangkan samsung S6 kurang lebih sama. Lucunya, di Indonesia harga iphone berkali lipat. Tapi tidak sedikit yang berusaha memiliki iphone.

Saya semakin merasakan bahwa (maaf ya) orang Indonesia banyak meletakkan gengsi dan harga diri pada hal yang tidak penting seperti materi. Sadly to say, konon katanya ya memang begitulah masyarakat di negara berkembang. Di usia saya yang sudah 30 tahun ini syukurnya saya sudah mengalami beberapa pengalaman. Dari sederhana (bukan kere loh..karena saya ga merasa kere..hihi), berubah menjadi brand minded, sampai sekarang saya akhirnya menemukan kembali diri saya. Seluruh pengalaman ini membuat saya datang pada satu kesimpulan. Harta hanya alat. Dan ia harus tetap berfungsi sebagai alat. Bukan sebagai tujuan. So...less is more.

Jangan salah, saya masih tetap bercita-cita sebagai orang kaya. Kenapa? Agar saya dapat manjadi manusia yang lebih bermanfaat daripada diri saya saat ini. Karena ketika kaya, kita dapat berbuat lebih banyak. Memberi lebih banyak manfaat. Tapi kali ini saya bertekad untuk tetap menjadi sederhana dan tidak membiarkan harta melenakan saya kembali. Mudah-mudahan Allah mewujudkan impian saya yang ini juga ya... aamiin


Time is money

Kalimat klasik ini baru akhirnya saya rasakan secara nyata setelah saya tinggal di Jepang. Karena ketika di Jepang saya bekerja dibayar perjam, saya akhirnya berkesempatan merasakan juga bahwa waktu yang saya punya ya berarti uang. Untuk setiap menit berlebih yang saya habiskan bekerja, saya mendapatkan hasil (materi).

*untuk setiap menit yang kita lebihkan untuk bekerja aja kita dapat materi, nah untuk Tuhan yang udah ngasih pakai tubuh kita mampu bayar apa?*


Tujuan hidup dan makna dari ibadah


Ini hikmah terbesar yang saya dapat dari kehidupan saya di Jepang!

Ketika saya mempertahankan hijab saya, menolak pekerjaan yang meminta saya melepas hijab (padahal hijab saya sih masih biasa-biasa aja, masih sok modis jauh dari syar’i), tidak bertemu non mahram tanpa hijab (walau pernah kecolongan sih 2x...pertama pas buang sampah subuh-subuh, saya kira kalau di Jepang mah ga ada orang yang bakal berkeliaran pas subuh buta, jadi keluar ga pake kerudung, eh taunya ada orang nyelonong... yang kedua pas nginep di rumah temen, katanya ayahnya suka pergi pagi, eh pas bangun tidur beliau nongolin kepala ke kamar..). Saat itu saya mulai bertanya pada diri saya sendiri. Kenapa sih saya segitunya. Padahal pas di Indonesia saya ga segitunya, di sini juga ga akan ada orang yang mencecar saya kalau saya lepas hijab seperti yang akan dilakukan oleh orang-orang di Indonesia. Yang ada orang-orang di laundry sering menyuruh saya memakai baju lengan pendek karena mereka kasian pada saya dan takut saya pingsan. Bukan karena mereka tidak suka saya berhijab, tapi karena saat itu sedang musim panas, dan mereka yang tidak berhijab saja sampai bermandikan keringat. Sementara saya berpakaian tertutup dan berpuasa pula.

Maka ketika saya shalat, puasa, sekuat tenaga mempertahankan hijab saya, menjaga makanan dan minuman dari hal-hal yang diharamkan Allah, saya mulai bertanya kepada diri saya sendiri, kenapa saya lakukan itu? Untuk apa semua itu kenapa saya melakukan hal tersebut? Sementara saya selama di Indonesia juga slengean. Memang ga sampai knock down hijab sih, tapi ga setaat itu juga.

Siapa yang akan memarahi saya kalau saya makan babi, minum wine, tidak shalat, tidak puasa, membuka aurat? Tidak ada. Karena di sekitar saya minum wine, makan babi, adalah hal yang lumrah. Tidak berhijab malah membuat saya menjadi lebih normal di mata mereka (bukan berarti berhijab itu abnormal, tapi ya...sedikit mencolok mata aja sih..hihi). Semua (sesuai dengan esensinya) adalah keputusan saya sendiri dan tanggung jawab saya sendiri.

Akhirnya saya dapat pembelajaran langsung mengenai hubungan saya dengan Allah dan diberi kesempatan untuk memutuskan sendiri apakah saya merasa butuh Allah atau Allah yang butuh saya. Dengan tinggal di Jepang ternyata saya diberikan kesempatan memurnikan niat ibadah saya.





Terlepas dari kelakuan saya yang sering mengeluh dan kurang bersyukur selama tinggal di Jepang, ternyata banyak hikmah yang dapat saya petik. Yes, I am lucky to have that chance. Alhamdulillah.


Maybe lucky...maybe lucky...I dare say I'm lucky...








Read More

Share Tweet Pin It +1

0 Comments

In

2 Purnama Setelah Kembali ke Tanah Air

Purnama ke-2 setelah saya kembali ke tanah air. Tidak mudah memang hidup dengan kondisi tanah air yang seperti ini, saya jadinya malah semakin stres. Sulit rasanya untuk tetap positif dengan cekokan berita negatif di media massa. Dalam seminggu pertama saya di rumah, rasanya saya berhasil dicuci otak untuk menjadi menjadi super duper pesimis.

Kembali ke Indonesia...panas, semrawut, sumpek, kotor, penuh debu, becek, macet, kebutuhan mahal, liat lowongan kerja gajinya kecil banget,  kejahatan dimana-mana. Lha kok ga ada bagus-bagusnya ya. Rasanya pengen angkat lagi aja koper yang belum dibongkar itu dan kembali ke Jepang. Padahal sih, pas di Jepang juga saya sering merasa ga betah. Sepi. Bosan. Tapi saat ini rasanya seperti mimpi kalau saya pernah tinggal di negara yang serba bersih, teratur dan aman.

Waktu di Jepang pengen pulang (walau dalam hati aja sih...) eh udah di Indonesia pengen balik lagi ke Jepang. Apaaaa sih maumu, Tiara. Tiba-tiba saya sadar. Ternyata saya kurang bersyukur. Saya jadi merasa sangat sedih. Entah sejak kapan saya berubah menjadi pesimistis dan kurang bersyukur seperti itu.

Ada teman menulis di wall fb saya "enak ya jadi kamu". Loh... hahaha. Iya, kehidupan kita yang terasa berat ini tidak jarang merupakan hidup impian orang lain. Iyalah enak, gimana ga enak kalau bisa tinggal di Jepang, jalan-jalan ke Korea, ke Malaysia, makan-makan enak, dandan cantik, pake baju yang modis dsb. Itu kan yang mungkin orang lain lihat di kehidupan saya. Sementara saya jujur aja kadang suka iri liat teman yang walau tinggal di rumah kontrakan yang mungil dan sederhana, tapi punya keluarga yang hangat. Suami yang pekerja keras dan anak yang lucu. 

Saya memang harus lebih banyak bersyukur dan menambal erat-erat perahu saya, biar ga bocor dan kemasukan pikiran-pikiran negatif dan pesimis. Tapi ini bukan pekerjaan sepele, karena saya harus mengeluarkan pikiran negatif dan pesimis yang terlanjur masuk ke dalam pikiran saya.

Hidup adalah perjuangan kan ya. I know it so well (cuma kadang suka khilaf...hehehe). だから、頑張りましょうか!



Read More

Share Tweet Pin It +1

0 Comments

In Incheon Korea Seoul

Bolang geje goes solo trip to Korea: gembel Incheon

Dari judulnya sih ga menarik amat ya. Hihihi. Jadi ceritanya saya sebelum pulang ke tanah air memutuskan untuk nyimpang sebentar ke Korea. Mumpung deket sama Jepang, tiketnya terhitung murah, ga perlu apply visa (seengganya itu yang saya pikir saat nekat beli tiket..hihi). Kapan lagi kalau ga sekarang?

Saya memutuskan untuk bertualang selama 3 hari 2 malam di Seoul. Ga muluk-muluk. Seoul aja. Malah mungkin hanya sekitar penginapan di Dongdaemun, karena saya tau saya puter-puter di harajuku aja ga cukup sehari. Hihi.

Jadi planning awalnya hari pertama saya mau ikut free transit trip dari Incheon. Karena saya tiba setengah 5 pagi dan baru bisa check in di hostel mulai jam 3 sore. Jadi plan awal saya adalah: hari pertama sampai di Incheon subuh, shalat subuh terus tidur (karena flight jam 2 dan landing jam 4.10) terus ikut free trip yang tersedia dari Incheon selama 5 jam, lalu check in ke penginapan. Setelah itu bisalah entah ke bukchon village atau kemanapun yang saya mood untuk mengeksplor dan hunting foto di daerah itu (maklum, moody traveller).

Hari kedua saya berencana menghabiskan hari dengan berjalan-jalan di Dongdaemun (karena penginapan saya di situ dan memang daerah itu pusat perbelanjaan juga). Ga perlu ongkos tinggal modal wifi buat get lost in Dongdaemun. Kalau bosen di Dongdaemun? Ya biasa...diaturable.
Hari ketiga pagi saya akan terus check out dan kembali ke bandara untuk mengeksplor bandara yang terkenal ini.

Rencana yang sempurna dan irit ala backpacker kan? (Walau saya mau geret koper 100 liter plus keril 35 liter). Saya memang ga niat belanja. Dan bukan untuk napak tilas boyband juga (udah lama pensiun dari dunia perkoreaan..hahaha). Tapi yang saya cari adalah pengalaman. Mengeksplor daerah dan menemukan budaya setempat. Walau saya ga bisa bahasa Korea. Hahaha.
Tapi mungkin karena pengalaman yang saya cari, maka pengalaman juga yang saya dapat. Hohoho. Makanya be careful of what you wish for deh. Hihi.

Flight saya tepat waktu, tapi saya baru bisa tidur mungkin sejam atau malah setengah jam sebelum landing (karena memang dasarnya saya bukan pelor yang bisa langsung lep tidur, tapi harus usek-usek macam kucing dulu untuk cari posisi yang enak). Ya emang sih, flight nya juga cuma 2 jam kan. Hihi.

Sampe ke bandara, saya dikasi pengalaman yang seru sama ahjussi ahjussi di imigrasi (bisa dibaca di sini). Setelah lolos imigrasi, koper 100 liter saya udah nangkring manis dan keliatan dari lantai atas (yaiyaa 100 liter gitu loh). Begitu keluar... karena khilaf dengan pesona oppa ganteng nan gagah yang siap sedia berdiri di balik counter currency exchange, saya berhasil menukar 7000 yen plus 500ribu rupiah ke won. Waduh. Padahal saya tau kalau nuker uang dengan rate di bandara pasti rugiii.

Saya lalu keluar, dan mencari wc terdekat. Jam menunjukkan pukul 6 saat saya shalat subuh di wc untuk penderita disable (udah ga ada waktu lagi untuk cari space di bandara yang segede gaban gini).
Selesai shalat saya lalu membuat tulisan mengenai pengalaman saya di imigrasi tadi. Karena memang kondisinya mendukung banget untuk update blog sambil sarapan dengan kopi botolan plus roti tawar yang saya bawa dari Kofu. Hihi. Di Incheon ini, banyak tersedia colokan. Lengkap dengan wifi yang wusss wusss. Tanpa harus log in ini itu. Kalah deh Haneda. Di Haneda charge station aja harus rebutan. Wifi? Ada sih, tapi entah kenapa saya selalu dapat yang lola, saking lolanya buka google aja ga bisa. Di Incheon? Download 300 mega cukup 5 menit saja!

Tadinya saya sarapan roti tawar plus kopi dengan harapan saya bisa segeran biar bisa melanjutkan planning. Tapi ternyata otak saya ga jalan (memang setahun ini perubahan signifikan yang saya rasakan adalah saya ga bisa begadang, kalau begadang otak jadi ga bisa jalan). Akhirnya setelah jalan kesana kemari cari korsi yang pewe untuk tidur, saya berhasil tidur sekitar 1 atau 2 jam.
Saya terbangun hampir jam 12. Badan jauuuh lebih segar. Otak saya kembali berfungsi. Sambil duduk mengumpulkan nyawa, datanglah waktu shalat dzuhur. Setelah berwudhu, saya menanyakan letak pray room pada bagian airport. Sayangnyaaaa... pray room hanya ada di bagian departure. Akhirnya saya berjalan menelusuri area arrivals untuk mencari spot yang memungkinkan untuk saya shalat. Dan akhirnya saya memutuskan untuk shalat di nursing room. Hehehe. Mudah-mudahan suatu hari nanti bisa masuk nursing room bukan buat shalat aja ya, tapi juga untuk menyusui.

Karena hp lowbatt, saya numpang ngecharge lagi. Di situ saya sadar. Bahwa insting saya sekarang adalah bahasa Jepang! Hahaha. (Belagu). Ya maklum lah, belum 24 jam juga kan pindah posisi ke negara asing (loh, Korea disebut asing, terus Jepang apa?). Jadi telinga saya sensitif banget sama bahasa Jepang. Kedengeran aja kalau ada bahasa Jepang, dan langsung otomatis noleh cari sumber suara. Padahal kata temen-temen sih mereka biasanya keluar insting seperti itu kalau denger bahasa Indonesia. Hahaha.

Sambil berusaha mengumpulkan nyawa, dari kursi tempat saya tidur saya memperhatikan kondisi sekitar. Tiba-tiba saya merasa keder. Waaaw. Hebat amat si Tiara ini. Visa ga punya, bahasa Korea ga bisa, koneksi internet ga ada, tapi nekat ke Korea seorang diri! Hahaha. Sementara di sini semuaaa dalam bahasa Korea (yaiyaaalaah). Ya emang sih, rencana awal kan nyewa wifi egg dari hostel. Tapi tetep aja keder. Saya jadi mulai meragukan diri sendiri. Apa iya saya mampu keluar dan bertualang sendiri di Seoul? Sementara google maps aja dalam hangul. 

Saya sadar, trip ke Korea ini memang unprepared. Itin aja ga sempat dibuat karena terlalu sibuk packing. Sambil makan siang burger ayam saya berusaha menyusun itin. Tapi yang ada malah bingung sendiri. Karena berbeda dengan subway di Jepang, tidak ada keterangan berapa jarak ke tujuan, berapa lama waktu yang ditempuh, dan berapa harga tiket yang harus dikeluarkan. Seandainya tidak ingat hostel yang sudah dibayar, pengennya tidur di bandara aja deh. Hahaha.


to be continued...



Read More

Share Tweet Pin It +1

0 Comments

In Imigrasi Incheon Korea Masuk korea tanpa visa Travelling Visa

Kencan singkat dengan imigrasi Korea

Urusan sama imigrasi adalah satu hal utama yang selalu bikin deg-degan dan penasaran para traveller, terutama traveller independen. Soalnya bukan gak mungkin, walau sudah mengantongi visa, bisa aja kita ditolak masuk oleh yang empunya negara. Hihi. Nah punya visa aja bisa ditolak, apalagi gak punya visa hayoh! Karena pengalaman ini lumayan menarik, saya memutuskan untuk membuat satu postingan tersendiri mengenai pengalaman di imigrasi ini.

Saya membeli tiket ke korea sebetulnya dengan sedikit gambling. Apakah saya akan bisa lolos di imigrasi atau ngga. Yah emang sih, dari di Jepang saya udah booking hotel. Tapi saya sudah menyiapkan mental seandainya gak diijinkan keluar oleh pihak imigrasi. Pikiran saya saat itu...yah, sepait-paitnya nginep di bandara deh 2 malam sampai flight saya ke Malaysia. Heuheu.

Oke, sebelumnya saya jelaskan dulu kondisi saya dan kenapa saya berani beli tiket ke Jepang tanpa mengantongi visa. Saya adalah pelajar asing di Jepang. Setahu saya, warga Indonesia yang mengantongi visa Jepang boleh transit di Korea tanpa visa. Bermodal informasi di kedutaan Korea di Indonesia plus cerita pengalaman berhasil ke korea tanpa visa yang saya baca dari blog, saya nekat memberanikan diri membeli tiket ke Korea, lengkap dengan tiket keberangkatan selanjutnya dan booking hostel. Walau udah beberapa pengalaman sukses orang lain saya baca, saya sebetulnya masih deg-degan, bisa berhasil lolos atau ngga.

Pas check in, mba cantik petugas ground service nanya...

"Do you have visa?"

dan saya jawab....

"no"

Sampai mba-nya nanya dulu ke petugas lain di dalam. Petugas di dalam lalu menemui saya setelah melihat visa Jepang saya terpampang manis (beneran, manis, visanya jepang kan cantik) dan bertanya

 "zairyuukaado omochi desuka?"

yang diterjemahkan sebagai "Apakah anda punya ktp Jepang?" ish, kalau ktp Jepang sih punya dooong (walaupun dalam beberapa menit lagi bolong deh itu ktp). Setelah saya sodorkan ktp Jepang saya, petugas tersebut lalu menjelaskan ke petugas yang pertama melayani saya bahwa orang yang memiliki ktp Jepang boleh berkunjung ke Korea tanpa visa. Loh...loh...kok jadi ktp Jepang yang dibahas? Lha status paspor Indonesia saya yang katanya boleh transit dengan catatan memiliki visa Jepang gimana??? Tapi lha udah lah ya, saat itu saya pikir yang penting saya bisa naik dulu deh. Walau jadi deg-degan lagi, kalau yang bikin saya lolos adalah karena saya punya ktp Jepang, gimana nanti di imigrasi kalau ktp saya udah bolong (keterangan: ktp Jepang kalau udah ga berlaku dibolongi oleh petugas imigrasinya) ?

Cerita saya skip langsung ke bagian masuk imigrasi. Di bagian imigrasi saya menyerahkan paspor dan surat masuk. Setelah scan sidik jari dan retina, paspor saya dibulak-balik oleh si bapak petugas, si bapak bertanya

"Kamu pelajar?"
"iya"

 saya jawab sambil nyawa seperempat watt. Bukan karena takut, tapi karena flight saya jam 2 pagi dan saya landing di Incehon jam setengah 5 pagi. Sambil pose menyenderkan dagu ke loket imigrasi, saya tunggu si bapak membulak-balik paspor saya.

"Tiket?"

 Saya serahkan tiket penerbangan selanjutnya. Kembali si bapak membaca peelaaan sekali.

"Ktp Jepang?"

Saya serahkan ktp bolong saya.

"Sekolahnya sudah selesai?"
 "sudah"

 Si bapak ngetak ngetik sambil sedikit berpikir. Sambil masih membulak-balik dokumen-dokumen saya. Ketak-ketik. Baca dokumen. Dilihat satu persatu. Sampai akhirnyaaaa... si bapak menyerah! Dia pencet bel. Lalu petugas lain datang. Dokumen saya diserahkan ke petugas tersebut, dan saya digiring ikut ke ruangannya.

Di ruangan introgasi, seengganya saya bisa duduk di kursi yang empuk. Si bapak sibuk juga liat dokumen-dukumen saya (paspor dan ktp bolong saya). Pertanyaan pertama yang keluar dari si bapak

"Do you speak english?"

Iyesss bapak..iyeees (ga selebay itu juga sih jawabnya..hihi. cuma "yes" singkat aja). Terus si bapak minta tiket saya selanjutnya. Daaan berikut ini list pertanyaan yang saya terima.

Q: Ini alamat yang kamu tulis, alamat hotel?
A: Iya

Q: Kamu sudah bayar?
A: Udah

Q: Berapa?
A: Berapa ya pak, saya agak lupa. Saya pesen dari Jepang dan saya bayar pake kartu Indonesia saya, hmm...sekitar 200.000 rupiah pak, ga tau di Won nya mah jadi berapa.

Q: Kamu akan ke Jepang lagi?
A: uum, ngga dalam waktu dekat sih kayaknya.

Q: Udah selesai sekolahnya?
A: Udah

Q: Kamu di sini jalan-jalan mau sendiri?
A: Iya pak. (jawab nyantai dengan polos sepolos-polosnya).

Q: Berapa lama kamu di Jepang
A: Setahun
Q: SETAHUN?? (ini bener si bapaknya kayak agak kaget ngomongnya, entah ini positif artinya saya lumayan lama di Jepang atau malah terlalu sebentar)

Q: Ini ada bukti tanda pemesanan hotel ga?
A: Ada email pak *iyess untung di Incheon wifinya ngacir*
Q: Sini kasi liat saya
A: *nyerahin hp buat ngasi liat email tanda konfirmasi dari hotel*
*si bapak baca-baca terus nyerahin hp lagi ke saya*

*si bapak bulak-balik tiket*
Q: Ini Bandung, nama kota di Indonesia?
A: Iya pak.

Q: Kamu bawa uang berapa?
A: Saya bawanya yen, pak, belum saya tukar ke won.
Q: Berapa?
A: *sambil ngitung di dompet* mmm...sekitar....*ngantuk membuat otak lemot ga bisa ngitung*
Q: Sini, kasi liat saya.
*saya serahin semua yen yang ada di dompet...sambil siap-siap mau bilang saya ada juga rupiah nih pak, tapi kalo jadi won sih kayaknya ga seberapa*

*si bapak ngitung uang saya, sambil nanya ke temennya pake bahasa korea, yen jepang berapaan ya sekarang ke won?*
*si bapak ngotrat ngotret ngitung konversi uang saya ke won, terus uang saya dikembalikan*

*ketak-ketik, entah baca dokumen apa (ga keliatan ketutupan mesin)*

Akhirnya saya liat paspor saya discan-scan. Iyes lolos. Disuruh scan sidik jari plus retina mata lagi.

Paspor dll dikembalikan ke saya.

Si bapak berdiri sambil ngomong "udah, selesai..." sambil bukain pintu. Tadinya saya penasaran, yang bikin saya bermasalah karena visa saya udah habis (eh masih ada seminggu lagi sih jatahnya sebetulnya, Cuma ktp saya sudah dibolongi.) atau karena saya sendirian, atau perpaduan itu semua atau apa??? Saya mau nanya, tapi saya terlalu ngantuk. Lagian saya ingat bahwa kadang petugas imigrasi berhak melarang seseorang masuk ke negaranya walau secara administrasi semua keliatan tidak bermasalah tanpa harus memjelaskan ke yang bersangkutan alasan pelarangannya apa.

Kalau ditanya horor apa ngga menghadapi petugas imigrasi, saya jawab: ngga. Petugasnya ga galak ngintrogasi kok. Dia kayak sibuk sendiri memikirkan entah apa. Dan hanya bertanya disela-sela dia mengetik, baca-baca dokumen saya dsb.  Bukan yang intensif mengintrogasi saya seolah-olah saya terdakwa. Saya di situ seakan-akan hanya untuk "pelangkap" kalau beliau membutuhkan informasi tambahan selain dokumen-dokumen saya. Nanyanya juga ga dengan sikap yang menyeramkan.

Keseluruhan introgasi dari mulai di loket sampai lulus dapat cap sekitar 30 sampai 40 menitan. Ga terlalu lama dan menjenuhkan menurut saya. Ga menakutkan juga. Saya malah ga ditanya itin. Padahal saya udah takut ditanya itin karena saya sama sekali ga mempersiapkan itin.

Akhir kata sih, menurut saya (walau saya masih ga ngerti yang jadi masalah itu apa) tapi selama kita ga ada indikasi akan melakukan hal-hal yang melanggar di Korea (atau negara manapun tujuan kita) kita akan bisa melewati gerbang imigrasi dengan selamat.

Hope this shared bermanfaat ya..hehe. Salam 5 watt dari bandara Incehon *this posting sponsored by free wifi*



Read More

Share Tweet Pin It +1

2 Comments

In

今日…

今日5°Cで晴れるの🌤25日だ。もうすぐ日本語能力試験の結果を発表される。ドキドキしてる。合格かなあ。😖

あまり頑張ったんから、難しかったと思った。😥

Read More

Share Tweet Pin It +1

0 Comments

In

Bercumbu mesra dengan aspal Jepang

Jadi, baru aja saya bikin postingan soal tidak ada tempat yang aman di dunia ini, keesokan harinya saya sukses bercumbu dengan aspal. Entah gimana ceritanya, sepeda saya berhasil akrobat dan sayapun mendarat di atas empuknya aspal dengan posisi tertelungkup. Sakit? Oh tentunya. Tapi saat saya hampir mendarat sempurna di otak saya malah 'aduh itu tas di keranjang jangan sampai jatuh'. Setelah jatuh, saya berdiri dan menuntun sepeda saya sampai beberapa meter saya mulai merasa terhuyung-huyung. 

Saya lalu duduk di sisi jalan, mencoba menghilangkan pening yang mulai terasa. Di otak Indonesia saya 'oke, cari teh manis hangat'. Eh ya keleuuuuus di Jepang cari teh manis. Akhirnya setelah merasa agak segeran, saya ke family mart terdekat. 

Saya segera masuk ke wc, mengecek lutut yang terasa perih. Yes! Lututnya lecet. Saya lalu keluar dan membeli nasi bento dan coklat hangat, lalu duduk di kursi yang tersedia. Gak butuh waktu lama, saya merasa wajah saya dingin, saya pasti pucat. Perut dan kepala mulai aneh. Sepertinya saya mau pingsan. 

Saya lalu kembali ke wc. Meninggalkan tas dan hp tergeletak begitu saja di meja. Tidak butuh waktu lama, sesampainya di wc, sayapun tergeletak lemas di lantai. Saya sudah berpikir, biarlah, mungkin nanti entah siapa akan menemukan saya tergeletak lalu dia memanggil ambulan. Sayangnya hal tersebut tidak terjadi. Karena saya hanya tergeletak selama kurang lebih 10 menit, dan sialnya tidak ada siapapun yang datang. Hahaha.

Saya lalu kembali ke meja, chat haha hihi sambil menghabiskan bento yang saya beli lalu kemudian pulang ke apartemen. Badan terutama tangan kiri saya mulai nyud-nyudan dan bengkak membiru. Saya kompres jari saya, dan saya oles minyak tawon ke bagian tubuh lain lalu sayapun tidur. 

Keesokan harinya, badan nyeri-nyeri. Paha membiru dan jari mati rasa. Bahu dan leher nyeri tidak bisa digerakkan. Walaaaah. Padahal saya sudah punya banyak rencana untuk hari minggu. Akhirnya saya cuma bisa terkapar. Bahkan menggoreng telurpun ternyata sulit tanpa jempol dan telunjuk kiri. 

Hari senin, salju turun. Sakit di bahu kanan sudah hilang. Jari telunjuk mulai bisa digerakkan. Karena penasaran, saya keluar dari kamar sebentar. Demi kenalan dengan si putih. Padahal badan sakit dan kepala pening. Selesai foto-foto, saya kembali mendekam di kamar. 

Hari selasa, niatnya pergi sekolah dan baito. Tapi saya ragu karena kelas di lantai 5, dan baito saya harus bersepeda, not forget to mention, jari saya masih nyud-nyudan. Walhasil saya mencoba pergi ke perpustakaan dan mini market. Saya berhasil kembali dengan selamat, tapi setelahnya badan kembali terasa sakit. 

Dan semua kisah itu membawa kita ke hari ini. Lagi-lagi saya berniat sekolah dan baito. Tapi kemudian paha dan lutut sakit sekali ketika harus naik tangga. Dan saya masih agak parno naik sepeda. Walhasil saya lagi-lagi tidak masuk. Tapi saat diajak ke resto terdekat saya semangat. Haha. Mudah-mudahan besok saya bisa kembali sekolah dan kerja. 

Semua orang yang ngobrol sama saya (kecuali ibu saya) menyuruh saya ke dokter. Tapi saya gak mau. Selain alasan mahal, yaaaa pokoknya ga suka aja kalau  harus ke dokter tuh. Hihi. 

Jari minggu malam: mati rasa, bengkak, mulai biru, nyud2n sampai pergelangan tangan.


Hari ini: udah gak mati rasa, tapi belum bisa digerakkan, sakit kalau kena dingin."


Sebetulnya menurut saya ini gak parah-parah amat lah, tapi cukup bikin repot. Mau ngikat rambut susah, bikin telor ceplok juga susah, pake celanapun susah. Hehe. 

Yaaah, selalu ada waktu untuk pengalaman pertama, termasuk pengalaman pertama mencium aspal Jepang. Tapi gak lagi-lagi deh. Hehehe. 



Read More

Share Tweet Pin It +1

0 Comments

In hidup di Jepang Jepang kehidupan di Jepang salju

Do you want to build a snowman? ☃🌨❄️



View pagi ini dari kamar apartemen! Yippy! やっと雪が降っている‼︎❄️🌨🌨❄️❄️

Berhubung badan masih sakit-sakit hasil akrobat nyium aspal kemaren, saya cuma bisa ngeliat salju dari kamar. Tapi bukan Tiara namanya kalau gak belagu, badan sehatan sedikit, udah pengen ider-ideran (padahal ga sekolah dan ga kerja). 

Keluarlah dari kamar, ke taman terdekat. Saljunya ternyata tebal. 




Ternyata ini terhitung salju lebat, soalnya bus ke bandara aja ditutup, jalan tol juga ditutup. Hmm.

Selesai foto-foto salju saya langsung masuk kamar lagi dan mendekam dibalik selimut. Saya lihat di timeline fb beberapa teman bikin boneka salju..huhu...pengen.  

Read More

Share Tweet Pin It +1

0 Comments

In Jepang Personal

When I googled my name...

'Mba, saya barusan googling nama mba, dapet link pidato mba di youtube. Wah bahasa Jepangnya lancar ya...'

Kira-kira begitu cerita teman yang baru saya kenal beberapa hari ini. Waduh, saya jadi penasaran, info apa yang sekarang google tampilkan tentang saya. Akhirnya sayapun googling nama saya sendiri. Hasilnya adalaaah...jengjreeeng...yang paling mengagetkan adalah: data akademik saya!!! OMG!



Saya tertohok!!! Itu tanggal kelulusannya tercantum dooong! Untungnya data IPK ga ikut dicantumkan. 

Setahun lalu, data saya yang selalu ditampilkan oleh google adalah masa-masa ababil saya ketika aktif bergaul di dunia fandom nasional maupun internasional dan berbagai forum internet. Hahaha. Alhamdulillah sekarang kemajuan, yang ditampilkan yang bagus-bagus aja. Aibnya sudah hilang tertelan waktu. Walau agak sedikit kangen juga sih mengingat masa-masa ababil itu (ups). 

Anyway, hal ini menumbuhkan keinginan baru dalam diri saya. I wanna make my name last in the net. Yes...I have to write. Because writing is what I'm good at. Sehingga saya dapat menggoreskan nama saya di dunia ini. 

Karena manusia mati meninggalkan nama...

Read More

Share Tweet Pin It +1

0 Comments

In Personal

Nowhere safe...

Hari ini saya melihat berita teror di Jakarta. Sejujurnya saya merasa ngeri. Tapi karena saya seorang Mutiara, saya menunjukkan sikap tenang (dan mungkin cenderung seperti tidak peduli). Ya, saya memang begitu. Pikiran dan perasaan boleh kacau, tapi jangan sampai perilaku ikut kacau. Hehehe. Orang mungkin akan berkata 'yah kamu sih tau apa, kamu tinggal jauh di sana...hidup tenang di Jepang'. Ssst..let me tell you a secret! There's no safe place in this earth! If you decide that way. But I decide to believe that...this world belong to my almighty God, Allah. And I believe that He protect me where ever I am. He own this world, He own me. That's why I don't fear anything. Yeah, that's what my mother always said about me. That I'm a fearless girl.

Setiap negara punya permasalahannya sendiri. Bahkan di Jepang yang terkenal aman inipun terjadi tindak kriminal kok. Cuma gak terlalu diekspos media dengan lebay aja. Ada juga berita cucu bunuh neneknya karena kesal, perempuan dibunuh di jalan yang sepi, dsb. Terakhir saya menonton berita tentang meningkatnya penderita HIV di Jepang yang setelah ditelusuri salah satu penyebabnya karena remaja tidak dibekali dengan sex education. Terdengar familiar kan permasalahannya. Masalah ada, tapi gak diekspos dengan lebay.

Kembali lagi pada isu teror di Sarinah, orang Indonesia sepertinya sedang tergila-gila dengan sherlock holmes. Sehingga setiap orangpun bermain detektif-detektifan. Muncul berbagai isu dan perkiraan konspirasi. Ah saya lelah membaca timeline facebook dan obrolan di grup. 

Saya bukan apatis (walau iya, saat pemilu  saya gak ikutan nyoblos), tapi saya memilih untuk tidak terbawa isu. Saya tokh bukan pengamat politik, dan sayapun tidak berminat pada politik. Saya hanya memiliki keyakinan kuat bahwa Tuhan akan menjaga saya kemanapun saya melangkah, ke tempat yang baik, tentunya. Hehehe. 

Semoga Indonesia semakin membaik, dan kalian semua dimanapun kalian berada, tetap berada dalam lindungan Allah. Aamiin. 

Read More

Share Tweet Pin It +1

0 Comments

In

Oniisan, nani gata?

'Oniisan, nani gata?' 

Dalam bahasa Indonesia kalimat di atas diartikan sebagai 'mas, golongan darah kamu apa?'. Jadi ceritanya, seminggu terakhir ini saya sering 'mengganggu' atasan saya dengan pertanyaan itu. Menyebalkannya, dia sepertinya entah dengan alasan apa, ga mau ngasi tau saya golongan darahnya. Padahal selama ini dia sering nanya macem-macem sama saya. Bete gak sih. 

Hari ini, dia iseng gantian nanya ke saya 'Mutiara-chan, nani gata?' Berhubung saya bete, saya jawab 'atatte mite!' (Coba tebak!). Sambil lewat dia ngomong 'AB'. 

Waduh...kok bener! Hahaha. Orang Jepang dilawan.... 

Read More

Share Tweet Pin It +1

0 Comments

In Personal

Tuhan...mana saljuku?

Tuhan...mana saljuku?
Sebetulnya aku ingin berkata seperti itu pada Mu
Tapi aku takut... Takut kemudian Kau turunkan salju yang begitu lebat yang tak sanggup kutahan dinginnya

Tuhan...mana saljuku?
Musim dingin tanpa salju rasanya tak lah lengkap, Tuhan

Tuhan...
Kau tahu, aku sebetulnya takut akan bekunya salju
Tapi, musim dingin tanpa salju terasa tak lengkap...


Read More

Share Tweet Pin It +1

0 Comments

Cari Blog Ini

Diberdayakan oleh Blogger.

Featured Post

Alam

Saya adalah seorang petualang. Dengan tubuh dan kaki yang kecil ini selalu mencoba menjelajahi setiap pelosok dunia.  Keindahan a...