In

Yang tersisa


Guru saya di Jepang menulis pesan kelulusan saya dengan “Mutiara, menurutmu, apa yang tersisa dari kehidupanmu di Jepang? Di kehidupanmu selanjutnya, semangat terus ya.”

Maaf kalau terjemahannya terjun bebas gitu ya. Hihi. Intinya sih, apa yang saya dapat dari kehidupan saya di Jepang. Saya cukup terkesan dengan pesan singkat itu. Mungkin pesan itu ditulis oleh beliau karena memang saya tidak semuda teman-teman saya di sekolah, sehingga beliau menyadari, tujuan saya ke Jepang bukan untuk materi seperti umumnya teman-teman lain. Tapi lebih dari itu, ada tujuan lain yang ingin saya raih (plus mungkin karena saya tidak semuda teman-teman lain, pertanyaannyapun jadi lebih filosofis ya...hihi).

Setelah saya pikirkan baik-baik, hikmah apa yang saya dapat dari kehidupan singkat saya selama setahun di Jepang itu, hasilnya adalah berikut ini: 

Memahami pentingnya hubungan antar manusia

Sistem sosial masyarakat Jepang yang tidak mau mengganggu privacy orang lain membuat mereka cenderung lebih tertutup. Sehingga hubungan antar manusiapun lebih terkesan artifisial. Selama di Jepang, saya sering merasa stres. Kesepian. Bukan karena ga punya temen banget. Tapi karena sisi ekstrovert saya kurang suplay energi. Hehehe.

Teman banyak, tapi semua sibuk. Waktu untuk bercengkrama kurang. Giliran saya senggang, mereka sibuk. Saya sibuk, mereka senggang. Pulang baito, supermarket udah mau tutup. Teman baito pun tidak pernah mengajak saya bergaul ala mereka yang makan-makan sambil minum di bar karena tahu saya tidak minum alkohol dan makan babi (eh pernah sekali sih waktu awal baito sebetulnya, tapi karena besoknya ada ujian saya tolak) dan malah kaget ketika saya bercerita habis pergi yakiniku-an, ga kebayang katanya, kalau saya yakiniku-an.  Saya rajin chat dengan keluarga dan teman. Tapi tetap, interaksi langsung dengan manusia ternyata penting. Hihihi.

Setiap budaya memang memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Sementara orang Indonesia terlalu ramah dan kepo sampai-sampai bikin jengah, orang Jepang malah ramah, tapi terasa artifisial, karena selalu terasa ada jarak. Ibarat gula, manisnya hanya di lidah saja. Sementara orang Indonesia, sekali suap, gula darah langsung melonjak tinggi dan kena diabetes.




Pekerjaan

Bagi orang Jepang, pekerjaan adalah tuhan mereka. Karena hanya dengan bekerja, mereka dapat hidup. Mereka tidak mengenal konsep rejeki seperti umumnya orang Indonesia. Karena itu tidak aneh kalau mereka sangat pekerja keras. Mengenai pekerjaan ini hal yang saya dapatkan adalah tidak ada gengsi dalam pekerjaan. Kerja itu apa aja. Kalau bisa bekerja, kerjakan. Yang penting halal (buat saya sih). Hehehe. Contohnya...kalau di Indonesia, pekerjaan cuci piring di resto itu kesannya remeh banget kan ya. Jadi pelayan juga kayaknya hina amat. Cuma dikerjakan oleh mereka yang kurang skill alias kurang berpendidikan alias...karena mereka ga bisa kerja lain, mereka jadi pelayan. Saya secara pribadi tidak pernah menganggap pekerjaan seperti itu hina. Hanya saya sering mendengar “Masa sarjana kerja gitu?” atau “Ih, dia tuh mahasiswa loh” (pas liat pelayan atau OB yang memberi kesan bahwa OB atau pelayan itu ga bisa jadi mahasiswa). Sementara yang saya lihat di Jepang tentunya berbeda karena konsep hidupnya juga berbeda. Pekerjaan “remeh” seperti itu dilakukan bukan semata-mata karena mereka kurang skil. Tapi misalnya pelajar yang masih harus berbagi waktu dengan sekolah. Atau ibu rumah tangga yang mengisi waktu luang dan menambah penghasilan setelah mengurus keluarga. Kalau pelajar sih memang keluar dari tempat kerja masih jalan kaki atau boseh sepeda ya. Tapi macam ibu rumah tangga itu, kalau ketemu di mall sih gayanya bukan main. Karena mulai SMA umumnya manusia Jepang sudah terbiasa sekolah sambil bekerja.

Rasanya indah kalau pola kehidupan seperti itu dapat diterapkan di Indonesia. Tidak ada pekerjaan yang hina. Pelajar atau ibu rumah tangga tetap bisa bekerja sebagai pekerja paruh waktu. Sementara sejauh ini yang saya lihat sih di Indonesia masih belum banyak perusahaan yang mau menerima pekerja paruh waktu seperti itu. Di Indonesia yang saya lihat adanya pekerjaan dengan kontrak dan gaji temporer tapi dengan tanggung jawab dan waktu yang dituntut full. Padahal saya sih pengen banget bisa ada sistem kerja part time seperti di Jepang. Karena dengan seperti itu memungkinkan para ibu rumah tangga untuk bisa bekerja tanpa mengenyampingkan keluarganya. Ngarep banget ya bisa kayak gitu. Hehehe. Soalnya cita-cita saya banget bisa tetep kerja tapi pekerjaan tidak mengganggu urusan keluarga.

Saya bercita-cita untuk bisa tetap bekerja di luar rumah sambil mengurus keluarga (dengan porsi tidak lebih besar dari keluarga tentunya) karena saya sadar saya tipe yang dinamis. Kalau saya terkurung terus, saya bakal stres. Saya butuh interaksi dengan berbagai orang. Karena itu saya sangat suka mengajar. Karena dalam mengajar ada dinamika, ada perubahan ruang, dan saya dipaksa untuk terus belajar

Hidup sederhana dan perubahan cara pandang dalam menilai materi

Ada hal yang menurut saya menggelikan. Sementara bagi orang Indonesia imej orang yang tinggal di luar negri itu mewah, pada kenyataannya, justru kehidupan orang Indonesia yang tinggal di luar negri itu umumnya sederhana dan penuh kerja keras. Sebelumnya di Indonesia saya lahir dan dibesarkan dengan cara sederhana juga. Sampai di suatu titik, saya ga lagi sederhana. Saya terlenakan oleh materi. Saya bisa membeli apa yang saya mau tanpa berpikir panjang. Saya bisa mengoleksi barang ga penting macam parfum ori (yes...I was a fragrant junkie), branded stuff, kosmetik, sampai mainan hadiah resto fastfood dsb.

Hidup di Jepang, karena memang saya juga ga butuh tampil wah, saya secara alami kembali hidup sederhana. Siklus hidup yang sekolah-kerja membuat saya tidak perlu tampil terlalu modis dengan polesan make up. Errr...ya sebetulnya orang lain gak gitu-gitu amat sih. Cuma kalau saya sih, ngapain juga ke sekolah terus ke laundry dengan pakaian modis plus make up. Make up masih saya gunakan ketika saya mengajar aja. Kenapa? Karena kalau sebagai guru, saya merasa perlu menampilkan kerapihan dan profesionalitas (ecieeee...hihi). Selain itu, iphone yang lambang gengsi di Indonesia di Jepang sih rasanya biasa-biasa saja. Tas coach dan LV aja digantung di stang sepeda (eh, no kw yah di Jepang..hihi). Sehingga di mata sayapun kemewahan barang-barang tersebut menghilang.

Seperti yang umumnya diketahui, kehidupan orang Jepang berpusat pada materialisme. Tidak ada tuhan bagi mereka. Yang saya sadari, materi tidak mendatangkan kebahagiaan. Klise ya. Saya melihat orang-orang Jepang yang bekerja habis-habisan, tapi nampak tidak bahagia. Bekerja terus dan pulang hanya untuk istirahat. Menimbun harta. Lalu untuk apa?



Ini banget!




Hidup di Jepang konon identik dengan mahal dan Indonesia murah? Yakin? Pada kenyataannya, secangkir kopi starbucks di Indonesia harganya sama dengan di Jepang. Saat tahun 2015, iphone 6s berharga sekitar 60.000 yen, sedangkan samsung S6 kurang lebih sama. Lucunya, di Indonesia harga iphone berkali lipat. Tapi tidak sedikit yang berusaha memiliki iphone.

Saya semakin merasakan bahwa (maaf ya) orang Indonesia banyak meletakkan gengsi dan harga diri pada hal yang tidak penting seperti materi. Sadly to say, konon katanya ya memang begitulah masyarakat di negara berkembang. Di usia saya yang sudah 30 tahun ini syukurnya saya sudah mengalami beberapa pengalaman. Dari sederhana (bukan kere loh..karena saya ga merasa kere..hihi), berubah menjadi brand minded, sampai sekarang saya akhirnya menemukan kembali diri saya. Seluruh pengalaman ini membuat saya datang pada satu kesimpulan. Harta hanya alat. Dan ia harus tetap berfungsi sebagai alat. Bukan sebagai tujuan. So...less is more.

Jangan salah, saya masih tetap bercita-cita sebagai orang kaya. Kenapa? Agar saya dapat manjadi manusia yang lebih bermanfaat daripada diri saya saat ini. Karena ketika kaya, kita dapat berbuat lebih banyak. Memberi lebih banyak manfaat. Tapi kali ini saya bertekad untuk tetap menjadi sederhana dan tidak membiarkan harta melenakan saya kembali. Mudah-mudahan Allah mewujudkan impian saya yang ini juga ya... aamiin


Time is money

Kalimat klasik ini baru akhirnya saya rasakan secara nyata setelah saya tinggal di Jepang. Karena ketika di Jepang saya bekerja dibayar perjam, saya akhirnya berkesempatan merasakan juga bahwa waktu yang saya punya ya berarti uang. Untuk setiap menit berlebih yang saya habiskan bekerja, saya mendapatkan hasil (materi).

*untuk setiap menit yang kita lebihkan untuk bekerja aja kita dapat materi, nah untuk Tuhan yang udah ngasih pakai tubuh kita mampu bayar apa?*


Tujuan hidup dan makna dari ibadah


Ini hikmah terbesar yang saya dapat dari kehidupan saya di Jepang!

Ketika saya mempertahankan hijab saya, menolak pekerjaan yang meminta saya melepas hijab (padahal hijab saya sih masih biasa-biasa aja, masih sok modis jauh dari syar’i), tidak bertemu non mahram tanpa hijab (walau pernah kecolongan sih 2x...pertama pas buang sampah subuh-subuh, saya kira kalau di Jepang mah ga ada orang yang bakal berkeliaran pas subuh buta, jadi keluar ga pake kerudung, eh taunya ada orang nyelonong... yang kedua pas nginep di rumah temen, katanya ayahnya suka pergi pagi, eh pas bangun tidur beliau nongolin kepala ke kamar..). Saat itu saya mulai bertanya pada diri saya sendiri. Kenapa sih saya segitunya. Padahal pas di Indonesia saya ga segitunya, di sini juga ga akan ada orang yang mencecar saya kalau saya lepas hijab seperti yang akan dilakukan oleh orang-orang di Indonesia. Yang ada orang-orang di laundry sering menyuruh saya memakai baju lengan pendek karena mereka kasian pada saya dan takut saya pingsan. Bukan karena mereka tidak suka saya berhijab, tapi karena saat itu sedang musim panas, dan mereka yang tidak berhijab saja sampai bermandikan keringat. Sementara saya berpakaian tertutup dan berpuasa pula.

Maka ketika saya shalat, puasa, sekuat tenaga mempertahankan hijab saya, menjaga makanan dan minuman dari hal-hal yang diharamkan Allah, saya mulai bertanya kepada diri saya sendiri, kenapa saya lakukan itu? Untuk apa semua itu kenapa saya melakukan hal tersebut? Sementara saya selama di Indonesia juga slengean. Memang ga sampai knock down hijab sih, tapi ga setaat itu juga.

Siapa yang akan memarahi saya kalau saya makan babi, minum wine, tidak shalat, tidak puasa, membuka aurat? Tidak ada. Karena di sekitar saya minum wine, makan babi, adalah hal yang lumrah. Tidak berhijab malah membuat saya menjadi lebih normal di mata mereka (bukan berarti berhijab itu abnormal, tapi ya...sedikit mencolok mata aja sih..hihi). Semua (sesuai dengan esensinya) adalah keputusan saya sendiri dan tanggung jawab saya sendiri.

Akhirnya saya dapat pembelajaran langsung mengenai hubungan saya dengan Allah dan diberi kesempatan untuk memutuskan sendiri apakah saya merasa butuh Allah atau Allah yang butuh saya. Dengan tinggal di Jepang ternyata saya diberikan kesempatan memurnikan niat ibadah saya.





Terlepas dari kelakuan saya yang sering mengeluh dan kurang bersyukur selama tinggal di Jepang, ternyata banyak hikmah yang dapat saya petik. Yes, I am lucky to have that chance. Alhamdulillah.


Maybe lucky...maybe lucky...I dare say I'm lucky...








Related Articles

0 komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini

Diberdayakan oleh Blogger.

Featured Post

Alam

Saya adalah seorang petualang. Dengan tubuh dan kaki yang kecil ini selalu mencoba menjelajahi setiap pelosok dunia.  Keindahan a...