In Daily life japan life kehidupan di Jepang Personal

Balada fakir wifi

Hari ini, tumben-tumbenan jam 19.24 udah duduk manis di kamar ditemani secangkir kopi dingin dan dilingkupi oleh kehangatan dekapan selembar selimut listrik bladus hasil warisan yang entah sudah diturunkan berapa generasi. Jadi hari ini ceritanya ada Christmas party, jam 2 sampai jam 4 siang. Jadi si saya datang baito pagi hari SAJA. Di dalam otak sudah terbayang bahwa selesai pesta natal nanti saya akan ke perpustakaan provinsi untuk sekedar mencari ilmu numpang wifi dan menghangatkan diri (baca: menghemat penggunaan AC kamar). Oh iya, ga usah dibahas lah ya kenapa saya yang muslim dan berkerudung datang ke acara pesta natal. Nantilah kalau ada moodnya saya bahas di postingan yang berbeda mengenai itu. Hihi. Kembali ke topik pembicaraan, jadi boleh dibayangkan...si saya datang ke pesta sambil membawa tas berisi laptop dong...daaaan..jeng jreeeng. Saya lupa kalau perpustakaan provinsi itu tutup setiap hari senin. Udah jalan jauh sampai 200 meter-an ke perpustakaan di bawah rintik gerimis romantis (kalau sama pasangan, kalau sendiri mah...cedih ah aku mah...) di musim dingin dengan suhu sekitar 8 derajat celcius, eh begitu sampai...saya disambut pintu yang tertutup. Sakitnya tuh di sini...*tunjuk bahu*.

Mau ke tempat baito, lha ga bawa sepeda. Harus pulang dulu ke apartemen kalau mau ambil sepeda. Padahal semangat untuk nge-blog udah menggebu-gebu. Akhirnya dengan langkah enggan saya ke stasiun. Mengharapkan secercah wifi. Untung tak dapat diraih, wifi di stasiun lagi ndut-ndut-an, tapi artinya saya terselamatkan dari probabilitas untuk mati beku karena berada di ruang terbuka selama lebih dari 5 jam demi secercah wifi. Kan ga lucu yah kalau besok pagi headline koran di kota Kofu “Ditemukan sebentuk wanita mungil dengan kondisi membeku di stasiun Kofu dalam keadaan mengetik blog.”

Walhasil si saya galau. Haruskah saya pergi ke kedai kopi duyung ijo demi secercah wifi? Walau galau, ternyata kaki melangkah ke kedai kopi itu juga. Huwahahaha. Tapi terus layaknya anak ayam yang kehilangan sumber wifi, saya hanya berdiri tercenung di pintu luar kedai kopi tersebut. Setelah memandangi dengan jeli setiap pelosok di kedai kopi itu, untungnya (lagi-lagi untung....yah, saya memang sebentuk manusia yang selalu beruntung soalnya, hihi), ternyata dari hasil penelisikan ditemukan bahwa tidak ada kursi kosong yang menyediakan colokan (colokan listrik ya, bukan colokan cilok, karena kedai kopi duyung cabang Jepang belum memasukkan cilok ke dalam menu mereka) (ya kaliiiii, lapak kopi pinggir jalan antar propinsi, sedia cilok dan indomi rebus pake cengek 5 biji...) (ah jadi pengen indomi pake cengek kan....). Oke, oke, cukup pembahasan cilok dan indominya. Kalau diteruskan nanti bisa-bisa saya langsung browse tiket ke Indonesia dan langsung pulang besok (mengkhayal itu gratis, jendral! Hahaha). Kembali ke si duyung ijo... seiring dengan pupusnya harapan bertemu secercah wifi di hari yang mendung dan dingin ini, maka terselamatkanlah sekeping uang 500 yen-ku.

Dengan langkah gontai karena belum ketemu nasi, pulanglah saya ke apartemen tercinta yang pada sore ini kondisinya sudah 11-20 sama ruangan sisa pesta semalam yang penuh bekas ledakan confetti dan pinata pecah (11 untuk ruangan sisa pesta, rate 20 untuk keberantakan kamar si saya).






The end.



Garing? Iya, biarin aja deh. Maklum, dingin meningkatkan tingkat kegaringan. 

Related Articles

0 komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini

Diberdayakan oleh Blogger.

Featured Post

Alam

Saya adalah seorang petualang. Dengan tubuh dan kaki yang kecil ini selalu mencoba menjelajahi setiap pelosok dunia.  Keindahan a...