"Nobody told me it's gonna be this hard"
Mampus! What did I just got myself into! Itu hal yang melintas di pikiran saya pada hari ke-2 saya masuk ke kantor saya sekarang sebagai interpreter. Melihat interpreter senior bertugas, ketika pihak A berbicara mengguankan bahasa Jepang, dia lalu langsung juga menerjemahkan perkataan tersebut ke bahasa Indonesia, demikianpun sebaliknya. It's a tough job, bro! Frekuensi bicaranya tentunya dobel dibanding dengan tokoh utama dalam meeting tersebut.
Tapi saya "terlanjur" memilih jalan profesi ini untuk mewujudkan visi besar untuk masa depan saya, so there is no turning back for me. I'll finish what I've started.
Anyway, saya menulis postingan kali ini untuk sharing mengenai suka duka jadi penerjemah baru. Karena di grup fb penerjemah saya sering menemukan pertanyaan mengenai suka duka penerjemah baru, tapi hampir tidak ada yang menjawab secara jelas. Hihi. Hopefully ini bisa bermanfaat untuk kawan-kawan yang mau mencoba jadi penerjemah.
The beginning is always hardest part.
Jadi, saat postingan ini ditulis, saya memasuki bulan ke-3 bekerja sebagai interpreter. Saya akan menulis secara terperinci apa yang saya alami sepanjang 2 bulan ini.
Hari ke-3 saya masuk, tiba-tiba ada yang minta support. Support di sini berarti...membantu komunikasi antara pihak ekspat dengan staf lokal. Hasilnya? Babak belur dooong. Hihi. Dari seluruh pembicaraan saya cuma menangkap 2 kalimat.
Setelah 2 hari masuk kerja, bisa dibayangkan seberapa jauh pengetahuan saya mengenai perusahaan, produk, proses dsb. Setelah selesai diskusi saya langsung meminta maaf ke kedua pihak karena belum bisa support dengan baik.
Seminggu pertama saya habiskan dengan feeling stress dengan pekerjaan baru saya. Rasanya pengen berhenti dan kembali ke perusahaan sebelumnya, eh ding, jangan balik lagi ke perusahaan sebelumnya juga sih. Hihi. 2 minggu bekerja, komplain datang berhamburan. Sayapun semakin stres.
Apa yang membuat stres?
Saya tau masalah utama saya itu di penguasaan kosa kata, saya merasa begitu banyak yang harus saya kuasai tapi saya bingung harus mulai darimana sementara waktu terus berjalan dan tuntutan terus berdatangan. Saya tau dan yakin saya pasti bisa, tapi saya merasa butuh waktu. Tapi tentunya pekerjaan tidak berjalan sesuai dengan ritme saya.
Saya juga merasa marah dan kesal ketika beberapa orang yang tidak paham dengan bidang bahasa terkesan menyepelekan proses menerjemahkan atau interpret. Pokoknya saya baper dan pengen dimaklum. Di sisi lain juga saya serba takut. Takut salah ngomong, salah menyampaikan, takut kalau saya bertanya akan jadi memperpanjang durasi meeting yang mengakibatkan penyakit lama saya yang suka jadi bisu kambuh. Sisi perfeksionis saya menahan saya untuk bersuara ketika di otak saya saya tidak bisa menemukan bentuk kalimat yang sempurna.
Bercermin dari masalah itu, saya merasa konyol sendiri. Karena itu hal yang selalu saya wanti-wanti ke murid saya dulu.
"Jangan takut salah, ngomong aja, namanya juga masih belajar."
"Jangan takut nanya, jangan mikir orang jadi terganggu kalau kamu nanya"
Setelah sharing sana sini, pada akhir bulan pertama akhirnya saya mulai belajar gak baper. Masa bodo dengan komplain. Tapi tentunya dengan terus berusaha meng-improve kemampuan saya dan mempush diri untuk berani bersuara.
Memasuki bulan ke-2, saya mulai lebih berani bersuara. Tentunya tetap dengan proses, ga langsung bisa berkicau. Apakah komplain berkurang? Wah ya ngga juga...hihi. Malah pernah dalam meeting yang saya rasa terlancar, eh malah dapat komplain yang bikin atasan-atasan saya kebakaran jenggot.
Eh, eh, kok jelek semua ya isinya. Ah gak jelek semua kok yang dialami. Ada sukanya juga.
Kapan ada sukanya?
Jadi penerjemah/interpreter itu...menonjol ketika ada masalah. Dan tidak terlihat ketika meeting berjalan lancar. Itu adalah hukum tidak tertulis yang ada di dunia penerjemah.
Bagi saya sendiri ada beberapa moment yang terasa bagai oase di padang pasir. Yaitu ketika:
1. Presdir tiba-tiba nanya
"Saya kalau ngomong kecepetan ga?"
"Ngga sih, pak, cuma..."
"Kosa kata khusus ya?"
"Iya.."
"Sabar aja, nanti juga kalau udah terbiasa bisa kok"
2. Presdir mengucapkan terimakasih atas support yang diberikan
3. Ada engineer yang mau membantu menjelaskan ulang kalimat dengan bahasa yang lebih awam agar saya paham konsep yang harus saya sampaikan.
4. Para bapak manager memberi masukan untuk improvement saya.
Memasuki bulan ke-3 ini, saya mulai berusaha melakukan pendekatan personal. Sebetulnya pendekatan personal ini bukan salah satu usaha untuk semata-mata memperlancar pekerjaan. Karena pada dasarnya saya pribadi yang cukup senang bersosialisasi. Hanya saja, selama 2 bulan kemarin, energi saya habis terkuras karena terlalu fokus pada stres dengan banyaknya pekerjaan dan pengetahuan yang harus saya kuasai.
Di saat ini, saya masih harus meng-improve performance dan kemampuan saya.
Mulai dari suara yang harus lebih keras (di sini saya juga heran, lha wong saya kalau ngajar dulu suara selalu keras kok), sampai yang utamanya...saya harus menguasai kosakata.