In Japan social culture

Hikkikomori

Pengertian

Hikikomori merupakan sebuah fenomena masyarakat yang sedang menjadi masalah di Jepang. Secara etimologi, termonologi asal kata hikikomori 「ひきこもり」terdiri dari kata hiki dan komori. Hiki/hiku 「引く」berarti menarik, sedangkan komori/komoru 「籠る」berarti menutup diri atau mengurung diri. Secara singkat hikikomori dapat didefinisikan sebagai ”seseorang yang menutup diri dan mengurung diri dari lingkungan sekitarnya”.

Ilma Sawindra dalam jurnal Gejala Hikikomori pada Masyarakat Jepang Dewasa Ini (2006: 3) menulis bahwa istilah hikikomori dikemukakan pertama kali oleh seorang psikolog dari Jepang yang bernama Saito Tamaki, seorang ahli hikikomori dan telah menulis banyak buku tentang hikikomori, mendefinisikan sebagai berikut:

6ヶ月以上自宅にこもりがちで、仕事や学校などの社会参加をしてなく、家族以外の親密な対人関係がない状態。

’Keadaan lebih dari enam bulan mengurung di rumahnya sendiri, tidak berpartisipasi dalam masyarakat seperti pekerjaan dan sekolah, tidak ada hubungan akrab dengan orang lain selain keluarga’

Lebih lanjut Saito menjelaskan sebagai berikut:

「ひきこもり」は病名‐診断名ではなく、状態を示すことばにすぎません。この状態が長期化する中で、いろいろな精神的症状が出てくると、医療とのかかわりが生じてきます。逆に、もともと統合失調症やうつ病などがあり、その症状としてひきこもりが起こってくる場合もあります。

’Hikikomori’ bukanlah nama penyakit atau nama diagnosa, tetapi tidak lebih dari kata yang mengungkapkan keadaan. Selama keadaan ini berlanjut lama dan bila muncul bermacam-macam gejala psikis/kejiwaan, maka akan ada hubungan dengan penyembuhan. Sebaliknya, ada juga hikikomori terjadi sebagai gejala dari mental disorder dan depresi yang sudah ada sebelumnya.’

Dari kutipan di atas dapat kita simpulkan secara sederhana bahwa hikikomori adalah suatu kondisi atau keadaan dimana seseorang menutup dirinya dari dunia luar dengan tidak berkomunikasi dengan orang lain dan mengurung dirinya di kamar atau di rumahnya selama lebih dari enam bulan atau bahkan bertahun-tahun. Hikikomori bukanlah penyakit mental, tapi bila keadaan ini terus berlanjut akan muncul gejala-gejala kejiwaan, maka perlu disembuhkan.

Pola Hidup Hikikomori

Pola hidup pelaku hikikomori berbeda dari orang kebanyakan karena mereka hidup dari kebalikan pola hidup orang biasanya. Maggi Jones dalam artikel Shutting Themselves In2 menulis:

While the stereotype of a hikikomori is a man who never leaves his room, many shut-ins do venture out once a day or once a week to a konbini, as a 24-hour convenience store is known in Japan. … And for hikikomori, who tend to live on a reversed clock, waking around noon and going to sleep in the early-morning hours, …

‘Sedangkan, ciri khas seorang hikikomori adalah seorang pria yang tidak pernah meninggalkan kamarnya, beberapa dari mereka melakukan perjalanan keluar sekali dalam sehari atau sekali dalam seminggu ke sebuah konbini, sebuah convenience store 24 jam yang terkenal di Jepang. … Dan untuk hikikomori, yang hidup dalam jam kebalikan, bangun ketika sore dan tidur di pagi hari, …’

Hal serupa dipaparkan oleh Ryu Murakami dalam essaynya yang berjudul Japan‘s Lost Generation: In a world filled with virtual reality, the country’s youth can’t deal with the real thing3. Murakami menulis:

Socially withdrawn kids typically lock themselves in their bedrooms and refuse to have any contact with the outside world. They live in reverse: they sleep all day, wake up in the evening and stay up all night watching television or playing video games. Some own computers or mobile phones, but most have few or no friends.

‘Ciri khas anak-anak yang menarik dirinya dari kehidupan sosial adalah mengunci diri mereka di kamar tidurnya dan menolak untuk melakukan kontak dengan dunia luar. Mereka hidup dalam kebalikan: tidur sepanjang hari, bangun di malam hari dan menghabiskan seluruh malamnya dengan menonton televisi atau bermain game. Beberapa mempunyai komputer atau mobile phone, tetapi kebanyakan memiliki sedikit teman atau tidak sama sekali.’

Pola hidup seorang hikikomori berkebalikan dari pola hidup orang normal. Di saat orang normal beraktivitas di siang hari, pelaku hikikomori justru tidur dan bangun pada malam hari. Kegiatan yang mereka lakukan adalah menonton TV, bermain game komputer, surfing internet, membaca buku, atau hanya sekedar bengong di kamarnya. Mereka tidak pernah bergaul dan berkomunikasi dengan orang lain, karena itu mereka tidak memiliki teman. Mereka jarang sekali keluar, mereka hanya akan keluar pada malam hari yang sepi untuk membeli keperluan sehari-harinya atau hanya sekedar untuk jalan-jalan.

Ada beberapa alasan mengapa pelaku hikikomori hidup dalam kebalikan siang-malam, seperti yang dijelaskan pada homepage yang dibuat NHK di rubrik tanya-jawab seputar masalah hikikomori4 berikut ini:

こうした逆転が起きるにはさまざまな理由があります。ひとつは、昼間太陽光線に当たらないため、体内時計が狂ってしまい、日内リズムがずれてしまうというもの。もうひとつは心理的な理由です。昼間みんなが学校や職場に通ったりして、活発に活動している時間帯に、何もしないでひきこもっていると、世間にどんどん取り残されていってしまうような不安感や焦燥感、劣等感にさいなまれるものです。昼夜逆転は、こうした苦痛を避け、周囲を意識しないための工夫であるとも言えるでしょう。

‘Ada macam-macam alasan mereka bangun berbalik seperti itu. Salah satunya, agar mereka tidak terkena sinar matahari siang, mereka telah menggeser irama sehari-harinya, dan telah mengacaukan jam dalam badannya. Satu lagi alasan secara mental. Siang hari semua pulang-pergi ke sekolah dan tempat kerja, beraktivitas pada jam kerja, ketika mengurung dirinya dengan tidak melakukan apa-apa, merasa gelisah dan tegang seperti telah ditinggalkan dengan cepat di dunia ramai, dan disiksa oleh rasa kurang harga diri. Berbaliknya siang-malam itu, bisa dikatakan sebagai usaha untuk tidak menyadarkan sekeliling dan menghindari penderitaan seperti itu.’

Para pelaku hikikomori memilih gaya hidup seperti itu sebagai usaha untuk menghindari perasaan-perasaan gelisah, tegang, dan rendah diri ketika berada di tempat ramai.

Penyebab Hikikomori

Siapa pun bisa menjadi pelaku hikikomori. Kebanyakan pelaku hikikomori di Jepang adalah laki-laki berusia 19-25 tahun, tidak menutup kemungkinan perempuan dapat juga menjadi pelaku hikikomori. Faktor penyebab hikikomori biasanya berasal dari luar, antara lain:
Ekonomi dan Budaya Jepang

Ekonomi Jepang, budaya Jepang, dan peranan jenis kelamin di Jepang adalah salah satu penyebab kuat terjadinya hikikomori. Laki-laki di Jepang dituntut untuk menjadi orang yang sukses. Sebagaimana yang ditulis Micheal Dziesinski dalam makalah penelitiannya yang berjudul Hikikomori: Investigations into the phenomenon of acute social withdrawal in contemporary Japan5:

Foremost are the cultural expetations placed upon a young middleclass person to conform to norms and succeed in life, …

‘Pertama adalah anggapan budaya yang menempatkan seorang remaja kelas menengah untuk menyesuaikan diri dengan norma dan kesuksesan dalam hidup, …’
Sistem Pendidikan Jepang

Jepang sebagai negara maju memiliki sistem pendidikan yang penuh dengan persaingan. Mulai sejak Sekolah Dasar hingga masuk Perguruan Tinggi seorang siswa harus memiliki jiwa dan kemampuan intelektual yang tahan dalam persaingan. Para ibu di Jepang sadar bahwa Jepang merupakan gakureki shakai(学歴社会)yaitu riwayat pendidikan seseorang sangat berpengaruh untuk mendapatkan pekerjaan yang baik. Maka muncul istilah kyouiku mama(教育ママ), dimana para ibu begitu menaruh harapan dalam pendidikan anak-anak mereka. (Ilma Sawindra Janti, 2006: 1). Harapan-harapan ini bisa menjadi tekanan bagi anak-anak.
Kekerasan di Sekolah

Kekerasan di sekolah seperti ijime dapat pula menjadi penyebab seseorang menjadi hikikomori. Ijime(いじめ)adalah memperdaya, menganiaya, melecehkan anak yang dianggap memiliki kelainan dari kawan-kawannya. Bila sudah amat tertekan, tidak jarang anak yang mendapat perlakuan ijime menjadi mogok sekolah atau toukoukyohi(登校拒否). Dr. Kawanishi sebagaimana yang dikutip Michael Dziesinski, mengatakan:

”… extremely nasty and dark, the way kids are bullied is both physical and psychological. Many victims just stop going to school, and eventually completely withdraw from society.”

“… sungguh keji dan suram, anak-anak yang diganggu secara fisik dan psikologikal. Beberapa korban mulai berhenti pergi ke sekolah, dan akhirnya menarik diri dari kehidupan sosial”
Peranan Keluarga

Lebra dalam bukunya Japanses Pattern of Behavior menjelaskan bahwa dalam tradisi masyarakat Jepang, ada konsep saling ketergantungan. Tipe ketergantungan ini sering terjadi sebagai hubungan quasi-familial (sok menurut pada keluarga), dimana pasangan ketergantungan menerima peran seorang anak terhadap pasangan pendukung yang berperan sebagai orangtua. Seorang anak dapat mengharapkan keamanan dan perlingdungan dari orangtuanya. (1976: 51)

Saito Tamaki sebagaimana yang dikutip oleh Phil Rees dalam artikelnya yang berjudul Japan: The Missing Million6 menulis:

More recently, Dr Saito points to the relationship between mothers and their sons. “In Japan, mothers and sons often have a symbiotic, co-dependent relationship. Mothers will care for their sons until they become 30 or 40 years old.”

’Baru-baru ini, Dr Saito menitik beratkan pada hubungan antara ibu dan anak mereka. ”Di Jepang, ibu dan anak lelakinya sering mempunyai sebuah simbiotik, hubungan saling ketergantungan. Ibu akan mengurus anak-anaknya sampai mereka berusia 30 atau 40 tahun.”

Ketergantungan seorang anak terhadap orang tuanya bisa menjadi faktor pendukung terjadinya hikikomori. Seorang anak dengan mudahnya menjadi hikikomori, karena para pelaku hikikomori merasa masih bisa hidup meski tanpa bekerja dan sekolah.

Dari faktor-faktor di atas dapat disimpulkan hikikomori merupakan bentuk sebuah perlawanan dan pelarian dari tekanan-tekanan sosial. Beberapa faktor di atas menunjukan bahwa fenomena hikikomori hanya bisa ditemukan di Jepang. Tapi belakangan ini, fenomena penarikan diri ini mulai ditemukan di negara-negara lain seperti di Inggris dan Korea Selatan. Namun jumlahnya tidak sebanyak pelaku hikikomori di Jepang.

Penanganan Hikikomori

Memiliki seorang anak pelaku hikikomori dalam sebuah keluarga merupakan hal yang memalukan. Karena malu, beberapa keluarga berusaha merahasiakan keadaan pelaku hikikomori tersebut di lingkungannya. Para orangtua merasa kurangnya informasi dan dukungan untuk mengatasi masalah mereka. Namun dengan berjalannya waktu, di Jepang mulai muncul institusi-institusi yang menangani hikikomori dengan cara penanganan dati sudut pandang sosial atau sudut pandang psikologi.

Penanganan melalui pendekatan psikologi dapat melalui konsultasi dengan pakar psikolog di sebuah rumah sakit atau institusi tertentu. Sadatsugu Kudo seorang psikolog Jepang membuka sebuah lembaga sosial bernama Youth Support Center dan tiap tahunnya terdapat 1500 keluarga pelaku hikikomori menelpon untuk meminta bantuan. Selain Sadatsugu Kudo mulai bermunculan intitusi lain yang melakukan hal serupa seperti lembaga sosial bernama New Start. Para konsuler yang disebut ’rental sister’ atau ’rental brother’ akan mendatangi rumah pelaku hikikomori, konsuler akan berinteraksi langsung dengan para korban sebagai proses penyembuhan untuk bisa membuat para korban membuang gaya hidup mereka sebagai hikikomori.

Sedangkan penanganan secara sosial lebih menekankan pada perubahan lingkungan tempat pelaku hikikomori tinggal. Seperti yang dilakukan NHK, sebuah stasiun televisi Jepang, membuat sebuah perkumpulan tempat pelaku hikikomori berkumpul berama yang dinamakan Daycare. Di Daycare pelaku hikikomori akan berinterkasi dengan pelaku hikikomori lainnya dan diharapkan untuk dapat kembali ke masyarakat semula. Selain itu, NHK juga membuat sebuah homepage yang khusus membahas hikikomori. Dalam hompage tersebut diberi penjelasan singkat yang dibuat untuk memotivasi agar pelaku hikikomori atau keluarganya tidak takut untuk berkonsultasi.omori

Related Articles

0 komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini

Diberdayakan oleh Blogger.

Featured Post

Alam

Saya adalah seorang petualang. Dengan tubuh dan kaki yang kecil ini selalu mencoba menjelajahi setiap pelosok dunia.  Keindahan a...